Bukan main senangnya Ayah waktu menerima surat dari Pak Nga
Djuasin bin Djamalludin Ansori, mandor kawat Meskapai' Timah, bahwa akan
ada promosi bagi kaum kuli tukang cedok pasir di wasrai. Wasrai dimelayu-kan
dari kata Belanda wasserijk, yang artinya 'bengkel pencucian timah'. Kuli yang
akan naik pangkat salah satunya Ayah. Surat itu, pagi tadi dibaca ibuku, sebab
Kawan juga tentu sudah mafhum betapa mengharukannya pengetahuan ayahku
soal huruf-huruf Latin.
Begitu mendengarnya, Ayah yang amat pendiam, seperti biasa, tak
berucap sepatah pun. Kutatap wajahnya yang melempar senyum ke luar jendela
dan membuang pandang ke pucuk pohon kenanga, dan kubaca dengan terang di
sana: syahdu seperti aktor India baru menyatakan cinta, dan bangga.
Selebihnya, tak dapat disembunyikan kesan raut wajah Ayah: tak
percayai !
Tak percaya, bahwa akhirnya setelah membanting tulang-belulang tiga
puluh satu tahun, ada juga orang yang membicarakan soal kedudukannya.
Selama tiga puluh satu tahun itu Ayah tak pernah naik pangkat, tak pernah,
sejak ia menjadi kuli meskapai dari usia belasan.
Tak percaya, bahwa kata pangkat bisa disangkutpaut-kan dengan
pekerjaannya yang tak ada hal lain berhubungan dengannya selain mandi
keringat.
Tak percaya, bahwa ada orang lain, selain anak-anaknya yang berkirim
surat padanya. Dengan amplop cokelat Maskapai. berkilat dan kaku seperti
kopiah, plus kop surat berlambang meskapai yang gagah: sebuah gerigi besar
dan palu lambang kerja keras pagi sampai petang.
Tak percaya, surat di tangan ibuku benar diteken oleh Mandor Kawat
Djuasin yang puluhan tahun menindasnya. Berkali-kali Ayah menerawang
tanda tangan itu, benar basah tinta pena biru, dari tangan yang dipertuan
mandor sendiri, adanya.
Tak percaya, lantaran Ayah merasa dirinya biasa naik pohon nira untuk
meniti/r air legen, biasa naik pohon medang untuk menyarap madu angin, biasa
naik pohon kelapa untuk membantu tugas beruk, tapi naik pangkat? Naik
pangkat tak masuk dalam perbendaharaan kata
Ayah yang tak punya selembar pun ijazah. Kata-kata itu asing dan ganjil
di telinganya. Bagi Ayah, naik pangkat adalah kata-kata ajaib milik orang
Jakarta. Ayah memalingkan senyumnya dari bingkai jendela padaku. Amboi!
Inilah yang kutunggu-tunggu dari tadi! Surat itu mengatakan bahwa beserta
surat keputusan pengangkatan yang akan diserahkan secara massal Sabtu esok,
akan dilampirkan pula amplop rapel gaji karena naik pangkat itu harusnya telah
Download ebook
Djuasin bin Djamalludin Ansori, mandor kawat Meskapai' Timah, bahwa akan
ada promosi bagi kaum kuli tukang cedok pasir di wasrai. Wasrai dimelayu-kan
dari kata Belanda wasserijk, yang artinya 'bengkel pencucian timah'. Kuli yang
akan naik pangkat salah satunya Ayah. Surat itu, pagi tadi dibaca ibuku, sebab
Kawan juga tentu sudah mafhum betapa mengharukannya pengetahuan ayahku
soal huruf-huruf Latin.
Begitu mendengarnya, Ayah yang amat pendiam, seperti biasa, tak
berucap sepatah pun. Kutatap wajahnya yang melempar senyum ke luar jendela
dan membuang pandang ke pucuk pohon kenanga, dan kubaca dengan terang di
sana: syahdu seperti aktor India baru menyatakan cinta, dan bangga.
Selebihnya, tak dapat disembunyikan kesan raut wajah Ayah: tak
percayai !
Tak percaya, bahwa akhirnya setelah membanting tulang-belulang tiga
puluh satu tahun, ada juga orang yang membicarakan soal kedudukannya.
Selama tiga puluh satu tahun itu Ayah tak pernah naik pangkat, tak pernah,
sejak ia menjadi kuli meskapai dari usia belasan.
Tak percaya, bahwa kata pangkat bisa disangkutpaut-kan dengan
pekerjaannya yang tak ada hal lain berhubungan dengannya selain mandi
keringat.
Tak percaya, bahwa ada orang lain, selain anak-anaknya yang berkirim
surat padanya. Dengan amplop cokelat Maskapai. berkilat dan kaku seperti
kopiah, plus kop surat berlambang meskapai yang gagah: sebuah gerigi besar
dan palu lambang kerja keras pagi sampai petang.
Tak percaya, surat di tangan ibuku benar diteken oleh Mandor Kawat
Djuasin yang puluhan tahun menindasnya. Berkali-kali Ayah menerawang
tanda tangan itu, benar basah tinta pena biru, dari tangan yang dipertuan
mandor sendiri, adanya.
Tak percaya, lantaran Ayah merasa dirinya biasa naik pohon nira untuk
meniti/r air legen, biasa naik pohon medang untuk menyarap madu angin, biasa
naik pohon kelapa untuk membantu tugas beruk, tapi naik pangkat? Naik
pangkat tak masuk dalam perbendaharaan kata
Ayah yang tak punya selembar pun ijazah. Kata-kata itu asing dan ganjil
di telinganya. Bagi Ayah, naik pangkat adalah kata-kata ajaib milik orang
Jakarta. Ayah memalingkan senyumnya dari bingkai jendela padaku. Amboi!
Inilah yang kutunggu-tunggu dari tadi! Surat itu mengatakan bahwa beserta
surat keputusan pengangkatan yang akan diserahkan secara massal Sabtu esok,
akan dilampirkan pula amplop rapel gaji karena naik pangkat itu harusnya telah
Download ebook