Artikel sejarah islam. Kerajaan mataram berdiri pada tahun 1582. pusat kerajaan ini terletak di sebelah tenggara kota Yogyakarta, yakni di Kotagede. Para raja yang pernah memerintah di Kerajaan mataram yaitu penembahan senopati (1584 – 1601), panembahan Seda Krapyak (1601 – 1677).
Dalam
sejarah islam, Kesultanan mataram memiliki peran yang cukup penting dalam perjalanan secara
kerajaan-
kerajaan islam
di Nusantara (indonesia). Hal ini terlihat dari semangat raja-raja
untuk memperluas daerah kekuasaan dan mengislamkan para penduduk daerah
kekuasaannya, keterlibatan para pemuka agama, hingga pengembangan
kebudayaan yang bercorak
islam di jawa.
Pada
awalnya daerah mataram dikuasai kesultanan pajang sebagai balas jasa
atas perjuangan dalam mengalahkan Arya Penangsang. Sultan Hadiwijaya
menghadiahkan daerah mataram
kepada Ki Ageng Pemanahan. Selanjutnya, oleh ki Ageng Pemanahan Mataram dibangun sebagai tempat permukiman baru dan persawahan.
Akan
tetapi, kehadirannya di daerah ini dan usaha pembangunannya mendapat
berbagai jenis tanggapan dari para penguasa setempat. Misalnya, Ki Ageng
Giring yang berasal dari wangsa Kajoran secara terang-terangan
menentang kehadirannya. Begitu pula ki Ageng tembayat dan Ki Ageng
Mangir. Namun masih ada yang menerima kehadirannya, misalnya ki Ageng
Karanglo. Meskipun demikian, tanggapan dan sambutan yang beraneka itu
tidak mengubah pendirian Ki Ageng Pemanahan untuk melanjutkan
pembangunan daerah itu. ia membangun pusat kekuatan di plered dan
menyiapkan strategi untuk menundukkan para penguasa yang menentang
kehadirannya.
Pada tahun 1575,
Pemahanan meninggal dunia. Ia digantikan oleh putranya, Danang
Sutawijaya atau Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Di samping bertekad
melanjutkan mimpi ayahandanya, ia pun bercita-cita membebaskan diri dari
kekuasaan pajang. Sehingga, hubungan antara mataram dengan pajang pun
memburuk.
Hubungan yang tegang antara
sutawijaya dan kesultanan Pajang akhirnya menimbulkan peperangan. Dalam
peperangan ini, kesultanan pajang mengalami kekalahan. Setelah penguasa
pajak yakni hadiwijaya meninggal dunia (1587), Sutawijaya mengangkat
dirinya menjadi raja Mataram dengan gelar penembahan Senopati Ing Alaga.
Ia mulai membangun kerajaannya dan memindahkan senopati pusat
pemerintahan ke Kotagede. Untuk memperluas daerah kekuasaanya,
penembahan senopati melancarkan serangan-serangan ke daerah sekitar.
Misalnya dengan menaklukkan Ki Ageng Mangir dan Ki Ageng Giring.
panembahan senopati
Sebagai raja islam
yang baru, panembahan senopati melaksanakan penaklukkan-penaklukan itu
untuk mewujudkan gagasannya bahwa mataram harus menjadi pusat budaya dan
agama islam, untuk menggantikan atau melanjutkan
kesultanan demak. Disebutkan pula dalam cerita babad bahwa cita-cita itu
berasal dari wangsit yang diterimanya dari Lipura (desa yang terletak
di sebelah barat daya Yogyakarta). Wangsit datang setelah mimpi dan
pertemuan senopati dengan penguasa laut selatan, Nyi Roro Kidul, ketika
ia bersemedi di Parangtritis dan Gua Langse di Selatan Yogyakarta. Dari
pertemuan itu disebutkan bahwa kelak ia akan menguasai seluruh tanah
jawa.
Sistem pemerintahan yang dianut Kerajaan mataram islam
adalah sistem Dewa-Raja. Artinya pusat kekuasaan tertinggi dan mutlak
adaa pada diri sulta. Seorang sultan atau raja sering digambarkan
memiliki sifat keramat, yang kebijaksanaannya terpacar dari kejernihan
air muka dan kewibawannya yang tiada tara. Raja menampakkan diri pada
rakyat sekali seminggu di alun-alun istana.
Selain
sultan, pejabat penting lainnya adalah kaum priayi yang merupakan
penghubung antara raja dan rakyat. Selain itu ada pula panglima perang
yang bergelar Kusumadayu, serta perwira rendahan atau Yudanegara.
Pejabat lainnya adalah Sasranegara, pejabat administrasi.
Dengan
sistem pemerintahan seperti itu, Panembahan senopati terus-menerus
memperkuat pengaruh mataram dalam berbagai bidang sampai ia meninggal
pada tahun 1601. ia digantikan oleh putranya, Mas Jolang atau Penembahan
Seda ing Krapyak (1601 – 1613).
Peran mas Jolang tidak banyak yang
menarik untuk dicatat. Setelah mas jolang meninggal, ia digantikan oleh
Mas Rangsang (1613 – 1645). Pada masa pemerintahannyalah Mataram mearik
kejayaan. Baik dalam bidang perluasan daerah kekuasaan, maupun agama dan
kebudayaan.
Pangeran Jatmiko atau
Mas Rangsang Menjadi raja mataram ketiga. Ia mendapat nama gelar Agung
Hanyakrakusuma selama masa kekuasaan, Agung Hanyakrakusuma berhasil
membawa Mataram ke puncak kejayaan dengan pusat pemerintahan di
Yogyakarta.
Gelar “sultan” yang disandang oleh Sultan Agung
menunjukkan bahwa ia mempunyai kelebihan dari raja-raja sebelumnya,
yaitu panembahan Senopati dan Panembahan Seda Ing Krapyak. Ia dinobatkan
sebagai raja pada tahun 1613 pada umur sekitar 20 tahun, dengan gelar
“Panembahan”. Pada tahun 1624, gelar “Panembahan” diganti menjadi
“Susuhunan” atau “Sunan”.
Pada tahun 1641, Agung Hanyakrakusuma
menerima pengakuan dari Mekah sebagai sultan, kemudian mengambil gelar
selengkapnya Sultan Agung Hanyakrakusuma Senopati Ing Alaga
Ngabdurrahman.
Karena cita-cita Sultan Agung untuk memerintah seluruh pulau jawa, kerajaan Mataram
pun terlibat dalam perang yang berkepanjangan baik dengan
penguasa-penguasa daerah, maupun dengan kompeni VOC yang mengincar pulau
Jawa.
Pada tahun 1614, sultan agung
mempersatukan kediri, pasuruan, lumajang, dan malang. Pada tahun 1615,
kekuatan tentara mataram lebih difokuskan ke daerah wirasaba, tempat
yang sangat strategis untuk menghadapi jawa timur. Daerah ini pun
berhasil ditaklukkan. pada tahun 1616, terjadi pertempuran antara
tentara mataram dan tentara surabaya, pasuruan, Tuban, Jepara, wirasaba,
Arosbaya dan Sumenep. Peperangan ini dapat dimenangi oleh tentara
mataram, dan merupakan kunci kemenangan untuk masa selanjutnya. Di tahun
yang sama Lasem menyerah. Tahun 1619, tuban dan Pasuruan dapat
dipersatukan. Selanjutnya mataram berhadapan langsung dengan Surabaya.
Untuk menghadapi surabaya, mataram melakukan strategi mengepung, yaitu
lebih dahulu menggempur daerah-daerah pedalaman seperti Sukadana (1622)
dan Madura (1624). Akhirnya, Surabaya dapat dikuasai pada tahun 1625.
Dengan
penaklukan-penaklukan tersebut, Mataram menjadi kerajaan yang sangat
kuat secara militer. Pada tahun, 1627, seluruh pulau jawa kecuali
kesultanan Banten dan wilayah kekuasaan kompeni VOC di Batavia ttelah
berhasil dipersatukan di bawah mataram. Sukses besar tersebut
menumbuhkan kepercayaan diri sultan agung untuk menantang kompeni yang
masih bercongkol di Batavia. Maka, pada tahun 1628, Mataram
mempersiapkan pasukan di bawah pimpinan Tumengggung Baureksa dan
Tumenggung Sura Agul-agul, untuk menggempur batavia.
Sayang
sekali, karena kuatnya pertahanan Belanda, serangan ini gagal, bahkan
tumengggung Baureksa gugur. Kegagalan tersebut menyebabkan matara
bersemangat menyusun kekuatan yang lebih terlatih, dengan persiapan yang
lebih matang. Maka pada pada 1629, pasukan Sultan Agung kembali
menyerbu Batavia. Kali ini, ki ageng Juminah, Ki Ageng Purbaya, ki Ageng
Puger adalah para pimpinannya. Penyerbuan dilancarkan terhadap benteng
Hollandia, Bommel, dan weesp. Akan tetapi serangan ini kembali dapat
dipatahkan, hingga menyebabkan pasukan mataram ditarik mundur pada tahun
itu juga. Selanjutnya, serangan mataram diarahkan ke blambangan yang
dapat diintegrasikan pada tahun 1639.
Di luar peranan politik dan militer, Sultan Agung dikenal sebagai penguasa yang besar perhatiannya terhadap perkembangan islam
di tanah jawa. Ia adalah pemimpin yang taat beragama, sehingga banyak
memperoleh simpati dari kalangan ulama. Secara teratur, ia pergi ke
masjid, dan para pembesar diharuskan mengikutinya. Untuk memperkuat
suasana keagamaan, tradisi khitan, memendekkan rambut bagi pria, dan
mengenakan tutup kepala berwarna putih, dinyatakan sebagai syariat yang
harus ditaati.
Bagi Sultan Agung, Kerajaan Mataram adalah kerajaan islam
yang mengemban amanat Tuhan di tanah jawa. Oleh sebab itu, struktur
serta jabatan kepenghuluan dibangun dalam sistem kekuasaan kerajaan.
Tradisi kekuasaan seperti sholat jumat di masjid, grebeg ramadan, dan
upaya pengamanalan syariat islam merupakan bagian tak terpisahkan dari tatanan istana.
Sultan
agung juga berprediksi sebagai pujangga. Karyanya yang terkenal yaitu
kitab Serat Sastra Gendhing. Adapun kita serat Nitipraja digubahnya pada
tahun 1641 M. Serat sastra Gendhing berisi tetang budi pekerti luhur
dan keselarasan lahir batin. Serat Nitipraja berisi tata aturan moral,
agar tatanan masyarakat dan negara dapat menjadi harmonis. Selain
menulis, Sultan Agung juga memerintahkan para pujangga kraton untuk
menulis sejarah babad tanah jawi.
Di
antara semua karyanya , peran sultan agung yang lebih membawa pengaruh
luas adalah dalam penanggalan. Sultan agung memadukan tradisi pesantren islam
dengan tradisi kejawen dalam perhitungan tahun. Masyarakat pesantren
biasa menggunakan tahun hijriah, masyarakat kejawen menggunakan tahun
Caka atau saka. Pada tahun 1633, Sultan Agung berhasil menyusun dan
mengumumkan berlakunya sistem perhitungan tahun yang baru bagi seluruh
mataram. Perhitungan itu hampir seluruhnya disesuaikan dengan tahun
hijriah, berdasarkan perhitungan bulan. Namun, awal perhitungan tahun
jawa ini tetap sama dengan tahun saka, yaitu 78 m. Kesatuan perhitungan
tahun sangat penting bagi penulisan serat babad. Perubahan perhitungan
itu merupakan sumbangan yang sangat penting bagi perkembangan proses
pengislaman tradisi dan kebudayaan jawa yang sudah
terjadi sejak berdirinya kerajaan demak. Hingga saat ini, sistem
penanggalan ala sultan Agung ini masih banyak digunakan.
Sejak
masa sebelum sultan Agung pembangunan non-militer memang telah
dilakukan. Satu yang layak disebut, panembahan Senopati menyempurnakan
bentuk wayang dengan tatanan gempuran. Setelah zaman senopati, mas
jolang juga berjasa dalam kebudayaan, dengan berusaha menyusun sejarah
negeri demak, serta menulis beberapa kitap suluk. Misalnya Sulu Wujil
(1607 M) yang berisi wejangan Sunan bonang kepada abdi raja majapahit
yang bernama Wujil. Pangeran Karanggayam juga menggubah Serat Nitisruti
(1612 m) pada masa mas jolang.
Menjelang akhir hayatnya.
Sultan Agung
menerapkan peraturan yang bertujuan mencegah perebutan tahta, antara
keluarga raja dan putra mahkota. Di bawah kepemimpinan Sultan Agung,
Mataram tidak hanya menjadi pusat kekuasaan, tapi juga menjadi pusat
penyebaran
islam.
Sultan Agung meninggal pada Februari 1646. ia dimakamkan di puncak Bukit Imogiri, Bantul ,Yogyakarta. Selanjutnya,
Mataram
diperintah oleh putranya, Sunan Tegalwangi, dengan gelar Amangkurat I (
1646 – 1677). Dalam masa pemerintahan Amangkurat I, kerajaan mataram
mulai mundur. Wilayah kekuasaan mataram berangsur-angusr menyempit
karena direbut oleh kompeni VOC. Yang paling mengenaskan, pada tahun
1675, Rade Trunajaya dari Madura memberontak. Pemberontakannya demikian
tak terbendung, sampai-sampai Trunajaya berhasil menguasai keraton
Mataram yang waktu itu teletak di Plered. Amangkurat terlunta-lunta
mengungsi, dan akhirnya meninggal di Tegal.
Sepeninggal
Amangkurat I, Mataram dipegang oleh Amangkurat II yang menurunkan
Dinasti Paku Buwana di Solo dan Hamengku Buwana di Yogyakarta.
Amangkurat II meminta bantuan VOC untuk memadamkan pemberontakan
Trunajaya.
Setelah berakhirnya Perang Giyanti (1755), wilayah
kekuasaan mataram semakin terpecah belah. Berdasarkan perjanjian
giyanti, mataram dipecah menjadi dua, yakni mataram sukrakarta dan
mataram yogyakarta. Pada tahun 1757 dan 1813, perpecahan terjadi lagi
dengan munculnya Mangkunegara dan pakualaman. Di masa pemerintahan
Hindia Belanda, keempat pecahan kerajaan mataram ini disebut sebagai
vorstenlanden.
Saat ini, keempat
pecahan Kesultanan Mataram tersebut masih melanjutkan dinasti
masing-masing. Bahkan peran dan pengaruh pecahan mataram tersebut,
terutama kesultanan Yogyakarta masih cukup besar dan diakui masyarakat.
Itulah artikel
sejarah agama islam di kerajaan mataram, semoga artikel di atas bisa bermanfaat bagi kamu, khususnya dalam menambah wawasan mengenai
sejarah islam di Indonesia
sumber : Buku Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, M. Hariwijaya, S. S., M.S.i.